Jakarta: Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual
pada anak membuat pendidikan seksual harus segera diterapkan. Pendidikan
seksual terhadap anak penting untuk melindungi anak-anak dari pelecehan, namun
selama ni banyak orangtua mengira mereka baru bisa memberikan pendidikan ini
ketika anak duduk di bangku sekolah.
Masih segar dalam ingatan kita kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan
seorang wakil kepala sekolah di Jakarta Timur. Korban mengaku empat kali
dipaksa melakukan tindakan asusila, dan diancam nilai dan ijazahnya akan
ditahan jika berani menceritakan tindakan itu pada orang lain.
Sementara itu ada kasus siswa SD di Depok yang dilecehkan oleh sopir angkot. Ia
diajak berkeliling naik angkot pelaku dan dicekoki obat sebelum akhirnya
dilecehkan. Korban kini mengalami trauma berat.
Terakhir kasus yang menimpa seorang remaja putri di Cengkareng, yang dicabuli
oleh ayah tirinya selama dua tahun hingga korban hamil empat bulan.
Melihat kasus-kasus yang terjadi seolah kekerasan seksual pada anak tak pernah
berhenti. Tahun 2011 ada lebih dari 2.500 kasus kekerasan pada anak. Sebanyak
58 persennya adalah kekerasan seksual. Prosentase ini meningkat di tahun
berikutnya mencapai 62 persen dari 2.637 kasus. Dan jumlah ini diprediksi terus
bertambah.
Bahkan aktivis perlindungan anak menetapkan tahun 2013 sebagai tahun genting
atau darurat kekerasan seksual pada anak. Karena baru berjalan dua bulan jumlah
laporan yang masuk sudah mencapai 40 buah.
Menanggapi fenomena ini sosiolog Universitas Indonesia Paulus Wiratomo
mengungkapkan hilangnya kontrol dan rasa saling peduli di antara sesama di
lingkungan tempat tinggal, yang membuat kasus pelecehan terus terjadi.
Meski berbagai upaya telah dilakukan namun kepedulian masyarakat serta
pemberian pemahaman tentang keselamatan tetap menjadi kunci utama, untuk
mencegah maraknya pelecehan terhadap anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar